CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Jumat, 22 Februari 2013

JELEK JELEK JUGA NEGERI SENDIRI

Oleh : Ahmad Tohari

Agak lama tidak kelihatan, Jumat kemarin Abul Khair muncul di masjid kami.
Katanya, dia sengaja bergabung shalat Jumat di masjid kami karena dia ingin
bicara dengan Fadli, U-un dan saya. Abul Khair sudah seumur saya, hampir
enampuluhan. Sementara Fadli dan U-un masih muda, mereka baru punya anak
satu. Satu hal lagi Abul Khair punya anak yang dulu teman sekelas di
Sekolah Dasar. Begitulah selesai shalat Jumat kami diminta duduk di serambi
masjid.


"Saya mau minta pendapat kalian soal anak saya," Abul Khair mulai. "Anak
saya yang sedang menempuh pendidikan di di luar negeri, kemarin pulang
cuti. Nah, dia mengajukan sebuah persoalan yang saya sendiri tidak bisa
menjawab dengan tuntas."


Abul Khair berhenti bicara dan Fadli, U-un dan saya tetap menanti. Abul
Khair memang hebat. Meskipun hanya seorang pedagang pasar namun
anak-anaknya cerdas. Salah seorang di antara mereka mendapat beasiswa untuk
belajar ilmu teknik di luar negeri.
"Anakmu si Hasyim itu? Kenapa dia?" tanya saya.
"Dia minta izin saya untuk tidak pulang ke Tanah Air setelah sekolahnya
tamat nanti."
"Nah, pasti Hasyin kecantol gadis bule. Iya kan?" Tanya Fadli.
"Saya tidak tahu. Tapi alasan yang dikatakan kepada saya bukan itu. Dia
ingin bekerja di sana karena sudah ada perusahaan yang menjamin akan
menerima. Dan nanti kalau lulusnya cum laud, katanya, dia mudah pindah
menjadi warga negara sana."
"Antum sendiri bagaimana? Sudah memberinya izin?" tanya saya.
"Belum. Saya minta waktu untuk berfikir."


Abul Khair menceritakan lebih jauh alasan mengapa anaknya ingin menetap di
luar negeri. Menurut Abul Khair, sebenarnya Hasyim ingin hidup dan bekerja
di negeri sendiri, sama seperti keinginan kebanyakan pemuda Indonesia yang
sedang belajar di negeri orang. Namun Hasyim kurang yakin apakah dia bisa
mengembangkan diri secara optimal di negerinya sendiri; apakah dia bisa
menjadi profesional yang sebenarnya bila peraturan-peraturannya di negeri
ini tidak efektif; apakah keahliannya dan kejujurannya mendapat tempat yang
layak di tengah masyarakat yang sedang mengalami krisis moral yang akut.
Hasyim merasa jawaban atas semua pertanyaan itu cenderng negatif.
"Yang penting, saya bisa berkembang menjadi manusia yang bermanfaat, tak
peduli di negara mana saya hidup," Abul Khair menirukan kata-kata Hsyim.
"Dan komentar antum?" tanya saya.


"Saya bilang, desamu, negerimu, sangat membutuhkan keahlianmu. Kamu lahir
dan dibesarkan di Indonesia. Apakah kamu tidak merasa wajib berterima kasih
kepada pertiwi? Tapi dia jawab begini: Itu kuno, Ayah. Sekarang dunia sudah
menjadi satu dan dunia memang hanya satu. Pikiran Ayah yang romantis itu
sudah ketinggalan zaman. Begitu dia bilang. Dan karena saya kewalahan, saya
minta waktu untuk berfikir sebelum menolak atau menerima permintaannya."


"Omongan Mas Hasyim itu benar," U-un ikut bicara. "Ya, buat apa mencintai
negeri sendiri kalau di sini orang yang mau bekerja dengan sungguh-sungguh
malah sulit berkembang, orang yang jujur dianggap bloon. Orang yang mau
menempuh jalan benar dianggap aneh karena jalan pintas sudah menjadi barang
biasa."


"Ah, kamu jangan begitu, Un." Potong Fadli. "Kamu tidak penah mendengar
hubbul wathan minal iman?
Cinta Tanah Air adalah sebagian dari iman."
"Jangan pakai dalil itu. Banyak orang bilang itu hadits politik. Coba pakai
dalil lain." Tantang U-un.
"E, kamu mengajak berdebat ya. Saya tidak mau. Tapi kalau kamu tidak
keberatan, coba jawab pertanyaan saya ini; Apakah kelahiran kita sebagai
orang Indonesia merupakan takdir?"
"Ya, karena kita tidak bisa memilih mau lahir di mana dan sebagai bagian
dari bangsa apa."
"Apakah kamu percaya kelahiran kita di bumi Indonesia, bukan di tempat
lain, adalah bagian dari rencana besar Allah?"
"Ya, saya percaya."
"Dan satu lagi; apakah karena dua hal tersebut maka ada kewajiban alamiah
yang harus kita tunaikan di tempat kelahiran kita?"
"Wah, saya terpojok nih. Yah kamu betul." Jawab U-un sambil tertawa."
"Kalau begitu, terimalah takdir itu dengan segala konsekuensinya.
Sekarang bangsa kita masih serba terbelakang, malah saat ini sedang rusak
parah. Maka jangan malah ditinggal lari. Hasyim punya keahlian dan mental
baik. Jadi dia punya kewajiban ikut memperbaiki keadaan."
Meskipun Fadli berbicara samblil menatap U-un, namun Abul Khair yang merasa
paling berkepentingan dengan penjelasan itu."
"E, saya malah mendapat pengetahuan dari anak muda. Terima kasih Fad.
Sekarang saya sudah punya ketegasan, tidak akan memberi izin kepada Hasyim
untuk menetap di luar negeri setelah dia selesai sekolah di sana.


Kamu benar, Hasyim punya kewajiban yang bersifat alamiah terhadap tempat
dan masyarakat tempat dilahirkan. Kecuali dia teraniaya dan dirampas
hak-haknya di negerinya sendiri. Maka dia boleh bahkan punya hak untuk
pergi untuk hidup di manapun yang dia sukai."
"Benar, Fad. Pikiranmu mungkin akan menyelamatkan Hasyim dari sikap
mementingkan diri sendiri. Bangsa ini memang butuh banyak sekali anak
seperti dia; cerdas, mau bekerja dan jujur."
Abul Khair tersenyum, lalu pulang setelah menyalami kami.
"Dia ayah yang beruntung, dan anaknya harus pulang. Jelek seperti apapun,
ini negeri sendiri." kata Fadli. Saya dan U-un mengiyakan bersama-sama.

0 komentar:

Posting Komentar